Selasa, 06 Maret 2012

Aspek Yang Mempengaruhi Pendidikan Tidak Bisa Gratis

mungkin saja bisa gratis, tapi tidak mungkin gratis. Fakta membuktikan bahwa memang membutuhkan yang sangat besar jika ingin mendapatkan mutu yang bagus. Menurut saya slogan yang selama ini digembar-gemborkan tentang gratis atau gratis akan membawa dampak yang sangat tidak baik di masa depan. Logikanya, - gratis akan mendapatkan mutu yang tidak bagus jika dibandingkan dengan dengan mahal. Apakah ada dengan mahal ? banyak.
Saya sering sekali mendengar wali murid, kakak murid, ayah murid atau siapa saja lah yang masih peduli dengan mereka (si murid atau bahasa halusnya “si anak didik”). Mereka mengatakan; “ gratis apanya, buku tambah mahal, seragam mahal, banyak ini itu dari . Kalau dipikir-pikir kok tambah banyak mengeluarkan daripada yang tidak gratis dahulu”. Dalam hati saya terbersit pertanyaan, “dahulu ? bukankah dahulu saya juga pernah dan tidak gratis ?”. Masih ingat dengan samar-samar dahulu kala memang dengan membayar SPP, keluhan yang diutarakan para orang tua atau wali murid sama dengan keluhan yang disampaikan mereka sekarang khususnya orang-orang dengan ekonomi lemah.
Tapi, kawan ! dahulu ekonomi bangsa ini masih sedikit lebih baik dari sekarang. Ketahuilah, dahulu saya ke membawa uang 25 perak sudah dapat membeli kerupuk lima buah, minum cincau satu gelas plus masih bisa mendapatkan kembalian 10 rupiah untuk membeli bubur kacang ijo satu mangkuk. Betapa murahnya hidup pada waktu itu. Jaman sudah global, nilai tukar rupiah atas negara lain menjadi tolok ukur terhadap mapan tidaknya suatu negara. Artinya, dengan mengiming-imingi gratis pada saat sekarang ini, seperti mengatakan, “Negara kita saat ini sedang mengalami “paceklik”. Kalian para orang tua tidak akan bisa membayar SPP anak-anakmu. Jika ingin menyekolahkan mereka, maka saya beri program gratis agar mereka tetap bisa , tapi harus ada imbalannya, yaitu pajak harus dinaikkan, para pemilik usaha, baik kecil, menengah dan besar harus tetap membayar pajak dengan proporsi yang sama”.
Dampaknya adalah komersialisi dan mutu yang menurun. menjadi ajang mencari uang bagi pihak tertentu yang menganggap bahwa dunia adalah lahan yang sangat menggiurkan untuk mencari uang, toh memang tetap membutuhkan yang tidak sedikit.
Masalah memang bukan hanya tentang membayar SPP. bisa saja murah dengan kualitas memadai. Memadai dalam arti sesuai dengan kebutuhan lingkungan dimana para anak didik ini akan diarahkan nantinya. Toh tokoh cerita “laskar pelangi” tetap bisa melanjutkan sampai ke perancis dan mendapatkan dua beasiswa bergengsi, padahal ketika dulu hanya memakai pakaian seadanya dan berasal dari kampung. Disini saya ingin mengatakan, mahal karena kita ingin mengejar sesuatu yang belum jelas arahnya. Apakah itu ? silahkan dicari sendiri.
adalah masa depan, maka tidak layak mereka se-enaknya dijadikan tempat pembuangan ide “tidak cerdas” dan upaya (sengaja atau tidak) berupa “pembodohan” massal dari kaum elit, berupa iming-iming gratis. Kita kadang terlalu terobsesi dengan negara-negara lain yang sudah mapan memberikan program murah (saya tidak mengatakan gratis) tanpa melalui proses penelitian dan research yang mendalam dan rumit. Begitu mudahnya memutuskan kebijakan terhadap negara sebesar ini hanya berpatokan dari contoh negara lain, atau dalam bahasa yang saya pahami “mengadopsi kebijakan”.
Kita seperti digenjot dan dipaksa untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain yang sudah lebih baik keadaannya dengan cara memaksa nilai hasil dari proses belajar dengan standar tinggi. Tetapi kata “mengejar ketertinggalan” itu sebenarnya barang basi yang tidak lagi harus dipakai untuk jaman sekarang. Karena pemakaian kata mengejar ketertinggalan berarti ingin menjadi seperti mereka, padahal anugerah yang diberikan Tuhan untuk bangsa kita berbeda dengan mereka. Jaman sudah berubah, jatidiri bangsa lah yang lebih berharga untuk dicari daripada sekedar menggunakan kata “mengejar ketertinggalan”.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengetahui jatidirinya, untuk apa kita diberi tanah yang luas dan air yang melimpah, jika tidak bisa mengelola sendiri dengan baik. Kita kebetulan dilahirkan bukan menjadi bangsa kolonial seperti eropa, atau menjadi bangsa pendatang seperti Amerika dan Australia. Hidup sudah lebih dari cukup dengan hanya memanfaatkan sumber alam di negeri sendiri. Artinya tidak harus mahal, tetapi tidak mungkin juga gratis asal sesuai dengan tujuan dari pencapaian baik di daerah maupun di pusat. Standar nilai dari kondisi pedesaan tidak bisa disamakan standarnya dengan kondisi perkotaan. Sebab kebutuhannya jauh berbeda.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management