Kamis, 08 Maret 2012

Nenek-nenek dan abg pun muak pada koruptor


Gayus Tambunan (ANTARA/Yudhi Mahatma)
mereka harus ikut merasakan jadi rakyat kecil seperti kita. Biar tahu susahnya hidup, biar tidak ambil uang rakyat seenaknya saja"
Jakarta (ANTARA News) - Asap knalpot kendaraan bermotor menghamburi jalan Rasuna Said, Kuningan, lalu menyembur ke arah pria itu. Si pria masa bodoh, tetap asyik mencelupkan tempe dan tahu ke dalam adonan tepung, lalu digorengnya dalam minyak panas.

Sesekali dia melihat sekelilingnya, mungkin takut digaruk Satpol PP.

"Saya ndak tau, apa ya rasanya naik mobil itu," kata pria yang kemudian diketahui bernama Slamet Widoyo itu, menunjuk sebuah sedan mewah berwarna hitam, yang melintas di depannya.

Slamet berjualan gorengan dengan pikulan sederhana. Kadang dia berjualan di samping jembatan penyeberangan, seberang gedung Komite Pemberantasan Korupsi.

Ketika AntaraNews bertanya soal korupsi dan koruptor, Slamet yang lupa akan usianya ini menjawab polos, "Pokoknya ya itu yang suka ambil uang rakyat. Katanya kita ini miskin gara-gara mereka ya."

Dia tertawa getir ketika kepada ditanyakan apa pandangannya soal pemiskinan koruptor yang ramai diwacanakan orang-orang pintar belakangan ini.  Kerutan-kerutan pada wajahnya naik turun menyerupai tirai yang tertiup angin.

"Mau dibuat miskin kayak apa tho? Miskinnya orang-orang kecil seperti saya atau miskinnya pejabat? Itu beda lho," katanya sambil menggaruk punggung tangan kirinya yang keriput dan berwarna merah kecoklatan karena terbakar matahari.

Kalimat polosnya ditanggapi spontan oleh seorang pekerja kantoran di wilayah Kuningan, pembeli dagangannya.

"Pejabat itu pasti sudah punya simpanan di mana-mana. Mau dikeruk kayak apa pun, duitnya pasti masih banyak, percuma" ujar Kris Aditya (38), si pembeli gorengan itu.

Percuma

Kris nyerocos.  Diumpakannyalah koruptor itu sebagai paduan antara belut dan tupai.

"Itu jenis binatang yang pintar berkelit, sulit ditangkap karena lihai dan lincah dalam melarikan diri," ujar Kris.

Tak hanya Kris.  Ratna Maria (49), karyawati yang juga ibu empat anak, berpandangan serupa.  Katanya, wacana memiskinkan koruptor itu sama dengan meminta matahari terbit dari barat.

”Yang mau memiskinkan para koruptor itu siapa? Kalau hartanya sudah disita, lantas mau buat apa? Duuh, aneh-aneh saja deh. Nggak mungkin lah," ujar Ratna sambil mengibas-ibaskan jemarinya, pertanda itu tidak mungkin.

Sementara, dengan cara lebih polos, Dila Paramita (20), mahasiswi perguruan tinggi swasta Jakarta menyampaikan pandangan yang agak sebangun dengan Ratna dan Kris.

"Wah, kalau koruptor dibuat miskin oleh negara, nanti duit yang disita dikorupsi juga, terus yang korupsi dibikin miskin lagi, aah terus-terusan begitu, capek ah," ujar mahasiswi jurusan Ilmu Administrasi Niaga ini.

Lingkaran setan seperti dibayangkan Dila ternyata juga dipikirkan Igor Marpaung (17), pelajar sebuah SMU swasta di Jakarta.

Igor si abg ini menganggap korupsi itu sudah seperti budaya Indonesia sehingga sulit diberantas.

"Itu mah racun, menular ke mana-mana," ujar Igor pesimis.

Si cowok abg ini bersemangat dalam kepesimisannya.  Ah, jangan-jangan anak ini muak dengan betapa korupnya bangsa ini, betapa korupnya generasi-generasi yang lebih dulu hidup darinya itu.

Igor bahkan yakin korupsi di Indonesia tak lagi bisa dikenali, mana ujung, mana pangkal, berputar-putar layaknya lingkaran setan.

"Ya soalnya yang diseret oknumnya yang itu-itu juga, terus dia menyeret nama-nama yang pernah disebut-sebut. Terus saja begitu, tapi anehnya kok nggak pernah tuntas," ujar Igor berapi-api bak aktivis antikorupsi saja.

Igor yang bersemangat itu tak peduli pada ledekan kawan-kawannya mengenai komentar-komentarnya itu.

Hukum mati

Lain Igor, lain Siti Azizah yang berusia 60 tahun yang tentunya berbeda era dari Igor.

Nenek bercucu lima ini justru menilai memiskinkan koruptor adalah cara jitu untuk membuat koruptor jera.

"Iya dong, mereka harus ikut merasakan jadi rakyat kecil seperti kita. Biar tahu susahnya hidup, biar tidak ambil uang rakyat seenaknya saja," ujar ibu minta dipanggil dengan Bu Enjah saja itu.

Bu Enjah menganggap memiskinkan koruptor akan membuat si koruptot takut mengambil sesuatu yang bukan haknya.

"Tapi kalau cuma dibuat miskin, yang rugi cuma yang tertangkap, yang lain belum tentu takut. Sudahlah, hukum mati saja kalau terbukti korupsi, biar yang lain juga takut korupsi," ujarnya sambil membetulkan letak jilbabnya yang tersapu angin kencang.

Beberapa siswi SMU yang sedang duduk-duduk dekat Bu Enjah menimpalinya.

"Wah koruptor ya..ke laut ajeeeee," ujar salah seorang dari mereka, diiringi derai tawa kawan-kawannya.

Bu Enjah ikut tertawa, memamerkan dua gigi emasnya.

Beda generasi, beda berekspresi.  Tetapi suara hati mereka sama.  Mereka muak pada korupsi, muak pada koruptor.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management